"Ya Allah, kurniakanlah ke atasku ketenangan, dan tetapkanlah pendirianku bersama-sama pendukung-pendukung kebenaran, dan tabahkanlah hatiku dengan mengingati Engkau, dan kurniakanlah akan daku keredhaan dengan perkara yang Engkau redhai"

Saturday, February 14, 2009

Apa salahnya menangis?

Apa salahnya menangis, jika dengan menangis itu manusia menjadi sedar. Sedar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari jatuh dan tersungkur, melainkan Allah Swt. Kesedaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah keadaan hati manusia tidak pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya.

Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah bukan sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.

Sebahagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepun akan memarahi anaknya jika mereka menangis kerana dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan petanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya mahu pun umatnya. Rasulullah Saw menitiskan air matanya ketika kematian anaknya, Ibrahim. Abu Bakar As-shiddiq ra digelar oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis). Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala salat di belakang Rasulullah Saw kerana mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melalui sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur'an, ketika sampai pada ayat:
"Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam" (Al Muthaffifin: 6).

Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Rabbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati menghantar mereka kepada darjat hamba Allah yang peka.
Bukankah di antara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Rabbnya dalam bersendirian kemudian dia menitiskan air mata? Tentunya begitu sukar menitiskan air mata ketika berdoa sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justeru adalah maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat ketika sendiri di dalam biliknya. Seorang mukmin sejati akan menangis dalam bersendirian di kala berdoa kepada Tuhannya. Sedar betapa berat tugas hidup yang harus dipikulnya di dunia ini.

Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah menitiskan air mata demi melihat kehancuran umatnya.

Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang peka terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cubaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan segera membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.

Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata:
"Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad)". (QS. Al Maidah: 83).

Ja'far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Sebaik sahaja mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.

Orang yang keras hatinya, akan sukar menangis ketika dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justeru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apa pun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti,
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagimereka". (An Nisa': 145)

Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah di saat membaca Al Qur'an, menangislah ketika berdoa di sepertiga malam terakhir, menangislah kerana melihat keadaan umat yang menyedihkan, atau tangisilah dirimu kerana tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa kerana dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia.
"Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan". (At Taubah: 82).

Jadi apa salahnya menangis?.

1 komen:

Anonymous said...

kuat nangih nih. hahah

Template Design | monera87